Menyongsong hari dunia melawan homofobia, transfobia, interfobia serta bifobia pada 17 Mei, organisasi lobi LGBTQ+ Eropa, ILGA, merilis peta pelangi yang menunjukkan status minoritas intim di Eropa.
LGBTQ+ merupakan akronim buat kelompok lesbian, homoseksual, biseksual, transgender, queer serta manusia interseksual lain. Pemeringkatan didetetapkan bersumber pada katalog kriteria yang luas serta mencakup kesetaraan gender, proteksi terhadap kejahatan rasial serta diskriminasi, inklusi dalam aktivitas sosial, dan hak buat memastikan bukti diri gender.
Tauladan kesetaraan
Bagi ILGA, Malta mengulang prestasi di tahun- tahun lebih dahulu serta mendarat di posisi paling atas dengan 88 dari 100 poin.
Kelompok paling atas di Uni Eropa meliputi Belgia, Luksemburg, Spanyol, Denmark, Finlandia serta Yunani, tiap- tiap dengan lebih dari 70 poin. Secara universal, terus menjadi jauh ke utara serta barat di Eropa, terus menjadi baik pula hak- hak LGBTQ+ ditegakkan.
Ada pula negeri Eropa dengan tingkatan kesetaraan sangat rendah dicatatkan oleh Rusia, Azerbaijan serta Turki. Di Uni Eropa, Polandia menempati posisi terakhir dengan 17 poin sehabis 10 tahun pemerintahan partai nasional- konservatif PiS.
Kemunduran
Hak minoritas intim di Italia pula melemah di dasar pemerintahan koalisi ekstrem kanan bersama Partai Fratelli, Lega serta Forza. Sepanjang bertahun- tahun, Italia terletak di urutan ketiga terbawah buat negara- negara Uni Eropa, sebab ketatnya syarat hukum menimpa kedudukan orang tua, hak adopsi serta perkawinan untuk seluruh, kata Katrin Hugendubel, direktur kebijakan hukum di ILGA.
Pemerintahan Perdana Menteri Giorgia Meloni memakai celah hukum di dalam konstitusi buat menegakkan konsep rumah tangga konservatif dengan orang tua berjenis kelamin pria serta wanita.” Hukum sangat berarti buat melindungi minoritas intim dari pergantian haluan politik. Serta dikala ini kita tidak memandang banyak kemajuan,” ucapnya dalam wawancara dengan DW.
Mari berlangganan free newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah pekan, supaya topik percakapan kian seru!
Kemajuan
Secara totalitas, bagi Hugendubel, peringkat negara- negara Eropa nyaris tidak berganti sebab sedikitnya inisiatif baru buat menguatkan hak minoritas intim di dalam konstitusi. Pengecualian terjalin di Jerman yang telah mengesahkan undang- undang tentang penentuan nasib sendiri atas bukti diri gender. Kemerdekaan memastikan bukti diri intim dikala ini cuma dipastikan di sebelas dari 49 negeri Eropa yang diteliti.
” Walaupun sebagian negeri, tercantum Jerman, sudah menggapai kemajuan, di banyak negeri yang lain terjalin stagnasi, yang berarti tidak terdapat undang- undang baru yang disahkan,” kata Hugendubel.” Perihal ini sangat beresiko kala gelombang kebencian serta kekerasan bertambah, serta pemerintahan konservatif berupaya melemahkan hak asasi manusia, spesialnya untuk kelompok LGBTQ+.”
Visibilitas datangkan permusuhan
Pada hari melawan homofovia, Tubuh Hak Asasi Manusia Uni Eropa, FRA, merilis suatu riset komprehensif, tentang gimana kalangan queer memandang kesetaraan. Sebanyak 100. 000 responden di segala Eropa turut dan dalam survei online tersebut. Hasilnya, kelompok LGBTQ+ saat ini berlagak lebih terbuka tentang identitasnya. Tema ini saat ini lebih kerap dibahas di sekolah- sekolah dibanding 5 tahun yang kemudian, bagi FRA.
Tetapi demikian, pada dikala yang sama, diskriminasi, intimidasi serta ujaran kebencian terus menjadi kerap ditemukan dalam kehidupan tiap hari, kata para responden. Lebih dari sepersuluh kalangan LGBTQ+ di Eropa mengaku sempat jadi korban tindak kekerasan. Jumlahnya sedikit menurun dibanding 5 tahun kemudian.
” Kami memandang keterbukaan bertambah. Kelompok LGBTQ+ lebih menampilkan siapa dirinya. Mereka menuntut lebih banyak partisipasi dalam kehidupan sosial. Sebab mereka lebih nampak, paling utama generasi muda, mereka pula lebih kerap jadi sasaran kekerasan serta pelecehan,” kata Miltos Pavlou, periset kepala dalam riset FRA.
Gempar kebencian di internet
” Kami memandang terdapatnya ikatan yang lebih besar di mari. Kebencian serta kekerasan bukan cuma terjalin pada kelompok LGBTQ+, tetapi berakibat secara luas secara online. Kami berharap Uni Eropa hendak memakai instrumen hukum baru buat memerangi perihal ini dengan lebih efektif,” kata Miltos Pavlou kepada DW.
Dalam risetnya, FRA tidak berikan peringkat kepada negara- negara Eropa.” Kami tidak menuduh satu negeri, sebab perkaranya terjalin di seluruh negeri, semacam intimidasi di sekolah. Tidak hanya itu, tingkatan pelaporan kejahatan rasial serta diskriminasi di tiap negeri sangat bermacam- macam.
Katrin Hugendubel dari asosiasi LGBTQ+ ILGA pula merujuk pada kerangka hukum di sesuatu negeri, kenyataan sosial, serta penerimaan warga tidak senantiasa sama. Di Hongaria yang secara hukum sangat ketat serta bertengger di peringkat ke- 30, pemerintahan konservatif di Budapest menolak hak menikah untuk homoseksual, walaupun sesungguhnya didukung oleh lebih dari setengah masyarakat, bagi suatu survei.
Average Rating